Profil

Selasa, 05 Maret 2019

Tafakkur Kasabullah Jilid 32



K.A.F.I.R

Oleh : R. YUDHISTIRA RIA, M.Pd 

(Pimpinan Pusat/Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah Indonesia)

"MENGERIKAN" itulah sebutan yang paling pantas, saat istilah Kafir menjadi jualan politik paling camar untuk dilirik swing voter pilpres dan pileg 2019 di negeri ini.

Entah apa yang menjadi pertimbangan Tim Sukses mereka, sehingga hal hal yang bersifat sensitif yang semestinya dijadikan tarbiyah eksklusif antara kyai dengan santrinya, antara ustad dengan muridnya, antara orangtua dengan anaknya, dipaksa menjadi materi kampanye politik pada bangsa yang hiterogin?

Kalau memang maunya bersiar islam, mengapa hanya muncul menjelang pemilu saja dan mengapa juga yang bersiar justru dari orang orang yang kurang berkompeten dalam bidang agama?

Akal sehat kita bisa jadi menerima sebagai sesuatu yang wajar karena kita penduduk mayoritas, bahkan bisa jadi yang begitu itu dianggap superheronya, tetapi bagi kita yang berakal sehat pastilah akan menyayangkan sekali mengapa hal itu mesti terjadi? Bukan soal mereka tidak punya kompetensi bersiar, terkadang yang bersiar itu akhlaknya tidak lebih bagus dibanding yang diajak bicara (publik)

Akibat pemahaman istilah istilah agama yang tidak komprehensip, menyebabkan sebutan kafir yang semestinya berfungsi sebagai klasifikasi pemeluk agama, menjadi diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu / non muslim. Kalau kegiatan itu dibiarkan, tidak menutup kemungkinan keutuhan NKRI akan terkoyak, sekalipun kampanye NKRI "harga mati", terus digelorakan kepada patriotisme bangsa, akan tetapi dalam praktiknya cuma pepesan kosong retorika belaka.

Polemik bangsa dengan isu sara (agama), selamanya tidak akan pernah berakhir, selama warga negara Indonesia yang minoritas, kita anggap statuskan illegal dan menjadi musuh islam, bukti bukti yang mengarah ke sana sangat jelas dengan banyaknya komentar ofensif dari tokoh masyarakat, para jurkam pemenangan paslon tertentu. Akibat seringnya kita menyinyir mereka, menjadi maklum apabila mereka merasa "gerah" hidup di bumi pertiwi.

Sekalipun aslinya mereka non muslim tidak boleh gerah, tersinggung apalagi marah, karena kita sedang membahas dapur rohani kita sendiri, yang dalam Al quran dijelaskan bahwa orang di luar islam disebut dengan istilah kafir dan yang begini ini tidak bisa dirubah atau diamandemen seperti halnya UUD 45

Kesalahan terbesar oknum kita adalah tidak tahu tempat dan tidak bisa menempatkan diri atau istilah jawanya "hantem kromo". Semestinya berbicara ikhwal tauhid sepantasnya di surau surau, majelis taklim, masjid dan bukan di tempat umum, apalagi dalam urusan umum (kampanye) dan yang diundang juga orang umum, ini namanya payah.

Kalau boleh bertanya, Mengapa yang begitu itu harus terjadi? Sedang mereka sebagai warga negara Indonesia, hak penduduknya sekalipun non muslim, secara konstitusi, UUD 45 pasal 29 dilindungi dan dijamin kemerdekaan haknya untuk menganut agama, kepercayaan dalam melaknakan ibadatnya menurut kenyakinan masing masing?

Bukan suatu tindakan berlebihan apabila dalam Munas PBNU mewacanakan kafir bagi non muslim di Indonesia diganti dengan istilah yang lain. PBNU menganggap situasi yang berkembang belakangan ini, ditengarahi akan menjadi celah kekerasan teologis yang akan berdampak buruk. Itulah kehebatan organisasi islam terbesar kita (NU) yang selalu mengambil sikap "mengamankan" situasi demi menghidari konflik horisontal yang mengancam keutuhan NKRI

Pengertian kafir, kalau hanya diserap dan diperuntukkan bagi orang di luar islam saja, dampaknya sangat buruk bagi umat islam sendiri, karena dirinya merasa bebas dari bidikan dan kebal terhadap didikan. Begitu bab bab kafir dibacakan atau diperdengarkan ke daun telinga kita, dipastikan seruan Allah dan Rosul itu, dipahami bukan untuk dirinya, melainkan untuk mereka non muslim, sekalipun isinya merupakan perbuatan buruk kita

Kafir atau Kufur secara termologi bahasa mempunyai arti orang yang ingkar terhadap Allah dan Rosulnya. Sekarang yang dimaksud ingkar/tidak percaya/tidak mengakui, itu bentuknya seperti apa?

Apakah hanya kepada Dzat Allah dan Sosok Rosulullah atau kepada Perintah dan LaranganNya serta kepada bentuk Keteladanan Rosulullah? Kalau hanya kepada Dzat Allah dan Sosoknya Rosulullah, jelas yang dimaksud Kafir adalah Non Muslim karena mereka tidak pernah bersyahadat, sekalipun diantara mereka banyak juga yang mempunyai akhlak, lebih bagus dibanding kita yang muslim.

Akan tetapi kalau yang dimaksud kafir itu terhadap bentuk perintah, larangan Allah dan keteladanan Rosulullah, berarti kita sebagai ummat islam juga termasuk di dalamnya, mengingat tidak kurang dari 500an ayat, Allah menegur kita soal kekufuran, seperti tidak melakukan sholat, tidak sodekoh, tidak bersyukur.....

Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur” (QS. Al Baqarah: 152)
“… dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)

Itulah gambaran tentang kekafiran kita kepada Allah dan Rosulnya dalam al quran yang ditujukan kepada kita, Sekalipun diawal awal surat al baqoroh disebut "hudan linnas" petunjuk bagi semua manusia, tetapi manusia non muslim mana yang turut membaca? boro.... boro dibaca, kadang dipegang saja... kita sudah kebakaran jenggot, gak punya wudhu'lah... inilah....itulah.
Kalau Al Quran kenyataannya hanya kita yang membaca, lalu untuk apa istilah kafir ada di dalamnya? hehe...kata Gus Dur agar "kafire dewe dak digatekke......" karena kita telah sibuk dengan mengkafir kafirkan orang lain.

Bagaimana caranya agar "kafire dewe digatekke ? sebagai penduduk mayoritas harus rakhmatan lil alamin, sebagai hamba yang taat kepada Allah, suka memaklumi dan memaafkan, sebagai umat yang cinta kepada Rosulullah, biasa menebar kasih sayang, sebagai bangsa yang setia kepada negaranya jangan sampai pribahasa madura diterapkan "adhina'agih rasol, aguruh ka buter", mengabaikan kepentingan nasional hanya demi kemenangan partainya.


#kedaisufikasabullah #kedaisufi #makrifat #lembagadzikirkasabullah #akalsehat #kafir

1 komentar: