Profil

Kamis, 30 Maret 2017

313

“ 313 “ 
Oleh : R. YUDHISTIRA RIA, M.Pd
( Pimpinan Pusat / Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah Indonesia )

TIGA SATU TIGA, bukan sekedar angka yang disusun agar mempunyai nilai estetika tinggi, melainkan suatu upaya pengingat etika yang mengarahkan diri kepada sang pencipta, bagaimana caranya bersikap dalam mengabdikan diri secara kaffah, agar diri ini dapat mencapai ridhoNYA dan bukan lagi berkutat pada situasi aneh dengan dalih mengharap ridhoNYA, sesuatu yang diharap itu pasti belum ada sedang ridho Allah itu bertaburan di jagat ini tinggal kita saja yang ditantang, mau merebut atau tidak? sama halnya dengan surga itu sudah ada, sehingga kita tidak perlu bersusah payah mengharap surga itu ada, tetapi tempuh dan capailah dengan apa yang sudah menjadi SOP masuk surga.

Kecerdikan kita merangkai angka cantik 313 setidaknya dapat dijadikan momentum penting dalam bermuhassabah agar diri ini bisa terus menyibukkan diri mengoreksi diri tentang kelemahan ibadah diri kepada sang kholik, sehingga diri kita bisa membelenggu diri untuk tidak disibukkan mengoreksi ibadah orang lain, sebab bagaimanapun bentuknya nilai ibadah itu tetap mempertanggungjawabkan perbuatan diri sendiri, kecuali mereka-mereka yang mendapat tambahan tanggungjawab seperti guru,kyai dan pemimpin  terhadap murid,santri dan yang dipimpin.

Apabila kita memahami diri “man arofa nafsahu fakot arofa robbahu” maka saat kita diajak atau dipengaruhi orang lain untuk mengoreksi perbuatan orang lain, maka tanyakan pada diri bathin ini, korelasinya diri terhadap yang dikoreksi itu sebagai apa? Guru, Kyai atau Pemipin? Kalau tidak? lalu mengapa kita ini merasa merasa berdosa apabila tidak ikut  mengurusi sesuatu yang bukan menjadi urusannya? Bukankah Allah SWT dan Rosulullah Muhammad SAAW sudah memperingati kita ” Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (Qs. An-Nisaa: 83)
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ( البخاري)
“ Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat. (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

Angka 313 kita jadikan jalan tafakkur menyisir ikhwal mengenal Allah dari suka ke bilangan ganjil “Innallaha wahidin”  kemudian apabila kita tingkatkan nilai-nilai tafakkur lebih jauh maka angka 313 akan menjadi bilangan tujuh, yang di dalamnya ada wujud keanguangan Allah dalam mencipta alam atau makhluk yang terstruktur 7 lapis, baik langit, bumi sampai kepada tubuh diri manusia, bahkan suratul fatehah juga disebut “Absaul Matsani” tujuh ayat yang diulang-ulang.  Entah itu diulang-ulang saat menunaikan ibadah sholat 5 waktu dan sholat sunnah, diulang-ulang saat bertawassul kepada para ambiya’,waliullah, para guru, para kyai, orang tua atau suratul fatehah diulang-ulang saat melaksanakan tahlilan yang menjadi budaya kaum nahdliyin.

Sejalan dengan ilustrasi di atas, maka TIGA SATU TIGA, dapat diasumsikan sebagai momen penting pada diri sendiri dalam membangun muhassabah, dengan penjelasan angka TIGA pertama sebagai Pilar Agama Islam, angka SATU di tengah Manunggaling Kawula Gusti  sedang angka TIGA ketiga sebagai Hakikat Manusia

TIGA PILAR AGAMA

1.      Aspek Islam, Agama merupakan salah satu kebutuhan rohani manusia dalam  menentukan pilihan kepada Tuhan yang diyakini.  Dan kita sejak lahir sudah ditentukan oleh orangtua tua untuk menganut agama islam yang kemudian setelah dewasa kita membenarkan apa yang telah ditetukan oleh orangtua kita dengan melaksanakan syari’at dan amal perbuatan. Sebagaimana yang Rosulullah Muhammad SAAW paparkan "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi haji jika mampu." Dengan begitu kita yang mengaku beragama islam serta merasa sebagai ummat Rosulullah Muhammad SAAW dituntut untuk dapat melaksanakan  syari’at secara benar  rukun islam dengan mematuhi segala perintah dan larangan Allah SWT

2.      Aspek Iman, merupakan kata kunci dari nilai-nilai ibadah yang  kita lakukan sebab boleh jadi mereka di luar islam bisa dan mampu mengerjakan seperti apa yang kita kerjakan, apakah mereka tidak mampu puasa? Sangat mampu. Kalau puasa saja mereka mampu mengerjakan,apalagi mengerjakan zakat atau bagi-bagi uang atau ibadah haji atau rekreasi ke mekkah pasti mereka mampu karena secara finansial mereka memadai, tetapi apakah kemampuan mereka akan mendapat nilai ibadah ? Jawabannya tidak !  karena mereka tidak beriman kepada Allah. Apakah nilai-nilai keimanan itu hanya kepada Allah saja, sesuai dengan penjelasan Rasulullah Muhammad SAAW bahwa "Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk

Sesederhana itukah nilai-nilai keimanan yang perlu kita pahami? Asal bisa menyebut satu-persatu rangkaian rukun iman dari percaya kepada Allah sampai takdir buruk dan baik, serta-merta kita disebut hamba yang beriman?  Untuk jelasnya perhatikan surat dan ayat-ayat  Al Quran yang menjelaskan tentang iman yang sebenarnya "Orang-orang Arab Badui itu berkata: 'Kami telah beriman'. Katakanlah: 'Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.'" (Q.S. Al-Hujuraat 14) sebab imam itu bukan pengakuan melainkan suatu upaya maksimal seorang hamba kepada sang kholik melaksanakan segala perintah dan larangannya, kemudian Allah merakhmatinya dengan Nur orang-orang yang dikehendaki Allah (Q.S. Yunus 100).

3.      Aspek Ihsan, adalah Tatakrama,etika,akhlak mulia berbudi pekerti luhur dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT atau lebih populernya disebut  tasawwuf . Sering kali kita dalam melaksanakan  ibadah apa adanya dan cederung sembrono hampir tidak  ada hal yang diistimewakan seperti halnya kita menghadap pimpinan atau calon mertua, Memang banyak dari kalangan “oknum” tasawwuf yang menjelaskan bahwa ibadah itu yang penting adalah hatinya,soal pakaian dan tampilan itu menjadi nomor seribu, Bagaimana itu bisa terucap? Padahal apabila hatinya bersih maka bersihlah semuanya dari anggapan-anggapan menyepelekan Allah sebagai dzat yang Maha Mulia dengan lebih memuliakan kepada pimpinan.

Atau apakah lantaran kita melakukan ibadah merasa tidak diperhatikan Allah sehingga berbuat semrono?  Tidak ingatkah kita akan janji Allah sendiri “Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawa­blah),bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo'a  apabila ia berdo'a kepada-Ku...(QS Al-Baqarah: 186).Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hadid  4) begitu juga dengan hadits Rasulullah Muhammad SAAW menjelaskan bahwa "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihatnya, maka Dia melihat engkau." Hadist tersebut mengarahkan kita agar kita bisa menjadi al Ihsan yaitu membangun tatakrama yang elok disaat melaksanakan ibadah, kalau sholat gunakan pakaian yang pantas,kalau menolong orang tolonglah dengan baik jangan dengan terpaksa,kalau bersodekoh sodekohkan yang baik-baik bukan sisa-sia dan berikan dengan cara yang baik baik pula.
SATU MANUNGGALING KAWULA GUSTI

Setiap ada istilah  “Manunggaling Kawula Gusti”, ingatan kita pasti terseret kepada ajaran Syekh Siti Jennar itu bukan soal biasa, melainkan luar biasa. Karena kita merasa kebakaran jenggot sendiri apabila menyebut istilah itu, alasannya apa? Apa kita takut dituduh sebagai penerus ajarannya atau bagaimana? Memangnya kita muridnya, kalau tidak mengapa jadi kebakaran jenggot? Biasa aja kale. Apalagi kita paham sekali dengan hakikat surat Al Ikhlas. bahwa Allah itu berdiri sendiri, di luar itu adalah alam, di luar itu adalah makluk dan di dalam alam atau makluk tidak ada unsur ketuhanan begitu juga di dalam Tuhan tidak ada unsur kealaman atau unsur kemakhlukan, maka jangan sedikitpun ada kekawatiran ini sebagai ajaran kesesatan apabila memahami tentang rububiyah.

Manunggaling Kawula Gusti, tidak bisa diumpamakan seperi halnya manusia dirasuki jin, atau orang yang sedang kesurupan/instrans, melainkan suatu perumpamaan bahwa apa yang kita kehendaki sudah sesuai dengan kehendaki Allah. Seperti program TNI masa lalu ABRI manunggal rakyat, apa lantas ABRInya jadi rakyat atau rakyatnya jadi ABRI? Toh praktiknya ABRI punya program membangun desa, kemudian rakyatnya menyambut dengan dibangunnya infra struktur sesuai dengan program ABRI itu sendiri diantaranya membangun jembatan,MCK dlb.

Manunggaling Kawula Gusti merupakan pernyataan bathin bahwa ibadah yang dilakukan manunggal/menyatu/sesuai dengan kehendak Allah atau lillahitaala.


TIGA HAKIKAT HIDUP

Mau tidak mau diri manusia  yang terdiri dari jasmani dan rohani ini terurai menjadi 3 bagian penting, apakah sebagai hamba Allah SWT atau sebagai ummat Muhammad SAAW yaitu satu bagian Ruh milik Allah, satu bagian jazat/badan menjadi milik cacing tanah sedang satu bagian lagi yaitu ibadah menjadi milik kita.
1.      Ruh milik Allah : “Jawablah! Nyawa (ruh) itu termasuk urusan Tuhanku” (QS. Al-Isra’ : 85) “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr : 29)
2.      Tubuh milik cacing tanah “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan dari padanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain,” (QS. Thaha: 55).
3.      Amal ibadah milik diri : “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Qs. Al Kahfi 110)Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud 15-16).

Ingat TIGA SATU TIGA, ingat jalan-jalan bermuhassabah, bahwa diri ini teramat banyak yang harus dibenahi agar setiap saatnya selalu disibukkan dengan membenahi diri, sebab pola pikir yang salalu mengarah kepada kelemahan orang lain akan membuat hati kita menjadi mati dan sombong karena menganggap hanya dirinya saja yang baik sedang orang lain sebagai pendosa. Naudzubillahimindzaliq.
  
#tasawwuf #kedaisufi




1 komentar: