Profil

Sabtu, 09 Juli 2016

mudik yang merugi

SUBHATNYA MUDIK
by R.YUDHISTIRA RIA, M.Pd / Pimpinan Pusat-Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah

Sekarang,nanti,besok,lusa sampai bulan syawal berakhir ribuan manusia khususnya ummat islam sedang bertarung dengan situasi dan kondisi transportasi darat, laut dan udara yang tidak pernah tertata rapi, di persimpangan (traffic light), di pelintasan kereta api, di loket-loket,di portal-portal sampai di tol yang rencananya untuk memuluskan impian segera tiba di kampung sesuai rencana justru tidak luput dari kegiatan menguras energi bathin, mengumbar emosi semata-mata hanya untuk memanjakan tradisi mudik.

Itu fenomena yang kerap kali kita saksikan dan rasakan langsung di penghujung bulan ramadhan sampai bulan syawal berakhir.

Kegiatan individu yang menjadi gerakan nasional itu, sampai sekarang belum ada satupun yang mengakui siapa yang memulai sebagai penemu ataupun prakarsanya, yang pasti kita terseret dalam pusaran rutinitas tradisi unik yang hanya terjadi di Indonesia dengan nyamannya, tanpa harus mempermasalahkan kedudukan hukumnya. Seandainya pada kegiatan-kegiatan sosial lainnya kita meminjam legalitasnya, alangkah indahnya kehidupan ini.

Konon disaat bangsa ini terbebas dari penjajahan, Jakarta menjadi satu-satunya kota jujukan bagi urban atau para pengais uang yang bertebaran diseluruh antero nusantara, yang mempunyai cita rasa memperbaiki status ekonomi di kampungnya, modalpun tidak terlalu ribet yang penting badan sehat dan kuat serta punya semangat (bonek) itu sudah cukup bahkan dengan fisik yang lemahpun bisa juga ambil bagian dengan jadi gelandangan dan pengemis.


Asiknya mengais rejeki di kota metropolitan yang mayoritas berpenduduk orang betawi itu,tanpa dirasakan sudah berselang satu tahun berjalan meninggalkan kampung halaman dan rupanya bulan puasa yang sudah tidak lagi bisa mengandalkan tenaga dalam bekerja telah memuculkan ide untuk kembali ke kampung, bertemu kangen dengan keluarga seraya membawa uang sebagai bukti kesuksesannya bekerja di kota. Momen kembali ke kampung itulah yang kemudian dengan orang betawi dinamai “udik” (kampung/desa) yang sekarang populer dengan sebutan “mudik”

Kegiatan kaum minoritas (urban/perantau) yang unik itu, tanpa malu-malu kita adopsi kegiatannya dengan ikutan “mudik” sekalipun kita tidak sedang menjadi mereka yang sering kita cibiri kegiatannya karena bisanya cuma jadi buruh,gelandangan dan asongan dengan pendidikan yang sangat minim. Kalau begitu kita itu sebenarnya bukan type orang angkuh yang tidak bersahaja, buktinya sekalipun para urban itu kita kritisi habis-habisan dengan kata-kata yang kurang elok, ternyata ide luar biasanya, melampaui kepintaran kita yang sudah sarjana.

Lalu bagaimana mudik ditinjau dalam perspektif islam? Sebenarnya dalam islam itu bukan menyoal keaneka ragaman kegiatannya dengan nama-nama yanga aneh, melainkan pada substansi kriteria hukum : wajib (hal yang diperintah untuk dikerjakan dan berdosa apabila ditinggalkan), haram (hal yang dilarang keras untuk dikerjakan dan berdosa apabila dikerjakan), Sunnah (hal yang dianjurkan untuk dilaksanakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan) makruh (hal yang tidak dianjurkan untuk dikerjakan dan tidak berdosa apabila terlanjur dikerjakan), mubah (hal yang apabila dikerjakan tidak mendapat pahala dan dosa) dan subhat (hal – hal yang belum jelas kedudukan hukumnya,akan tetapi lebih baik apabila ditinggalkan)

Kalau begitu,kita menjadi sangat dungu apabila menyorot soal “mudiknya” dengan memberati dan melarang karena mudik dapat membuat kemacetan, rawan kecelakaan dan membuat aktifitas pekerjaan menjadi lumpuh karena mudik itu bukan suatu organisasi ataupun lembaga melainkan suatu kegiatan sosial yang tidak berbadan hukum, bukti kalau tidak berbadan hukum kita mau pinjam istilahnya kapan saja syah-syah saja,sekalipun bukan angggota dan bukan perantau

Jadi wajib,haram,sunnah,makruh,mubah dan subhatnya sangat bergantung kepada siapa yang mengambil kegiatan, kalau mereka mudik lantaran ingin menyerahkan uang hasil berkerja, ada keluarga sakit,ada urusan yang harus ditangani langsung dan ingin meminta maaf kepada kedua orang tua menjadi halal hukumnya, sebaliknya bagi mereka yang mudik hanya sekedar pamer kepada “musuh-musuhnya” dengan ngrental mobil mewah agar musuhnya tidak meremehkannya haram hukumnya,sedang bagi kita yang ikutan mudik lantaran lama sekali tidak bertemu dengan sanak keluarga menjadi sunnah hukumnya. Bagi kita yang serba kekurangan lalu merasa tertuntut oleh tradisi mudik dengan meminjam ongkos hukumnya makruh dan Bagi kita yang sekedar ikut-ikutan teman mudik kemana saja mereka ajak hukumnya mubah.

Bagaimana dengan posisi subhat dalam mudik, kita ketahui berpuasa sebulan penuh dimaksukan agar kita mencapai kemenagan dalam menahan diri dari segala bentuk nafsu suulhotimah/nafsu amarah dan kita berhasil melewatinya dengan baik, kemudian keunggulan yang kita raih dengan susah payah itu.

Kemudian kita hancurkan dengan kegiatan mudik yang bersifat tentatif dengan mengejek petugas loket yang lelet, dengan mengumpat sopir yang menyalip,yang tidak segera berangkat,dengan menghardik pengemis yang merambat daun pintu mobilnya,dengan menyorot petugas lalu lintas yang tidak becus,belum lagi yang mudik hanya mempermasalahkan warisan,yang mudik meminta ganti ongkos kembali ke kota, sehingga seisi rumah menjadi kalangkabut mencari pinjaman.

Kalau mudik terkondisi subhat semacam itu lebih bagus tidak mudik, agar kita benar-benar mencapai kemenangan yang hakiki yaitu "la allakum tattaqun" 

2 komentar:

  1. Alkhamdulillah trimakasih wawasan dan himbauan sangat berarti bagi murid,trimakasih guru.

    BalasHapus
  2. terimakasih, murid sekalipun jauh dari guru tetapi sangat komunikatif sekali sehingga guru sangat merasakan sangat dekat

    BalasHapus