Profil

Kamis, 30 Juni 2016

Keabadian Syaikhona Kholil sebagai Guru Spiritual bagi Ulama

mBAH KHOLIL YANG TERUS MENGAJAR
 SEKALIPUN SUDAH WAFAT
by. R.YUDHISTIRA RIA,M.Pd / Pimp.Pusat Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah / Juni302016


Disadari atau tidak setiap kita, utamanya para ulama Bangkalan menjadikan sosok Syekh Maulana Mohammad Kholil karomallah wajjahahu atau yang akrap dengan sebutan Syaikhona Cholil atau panggilan akrapnya mBah Kholil tokoh sentral umat islam yang didaulat sebagai maha guru dari sekian banyak macam guru yang ditemui. Sekalipun secara fisik tidak pernah bertemu dengan beliau, tetapi ruh bimbingan spiritual Syaikhona Kholil begitu kuatnya tertanam pada sanubari mereka, Hal itu bisa dibuktikan takkala ada seorang yang akan melanjutkan pendidikan,melamar pekerjaan,menduduki jabatan Anggota Dewan, Bupati, Menteri sampai kepada Presiden sekalipun, selalu merasa tidak pas kalau tidak terlebih dahulu  “sowan” ke makam KH.Moh.Cholil Bangkalan,untuk mohon doa restunya dengan cara berziarah.

Perasaan semacam itu syah-syah saja dan sangat beralasan, sekalipun ada seorang santri yang sukses menjadi ulama besar yang ditempa oleh guru/kyai tertentu, mau tidak mau secara Historis faktual Gurunya adalah Syaikhona Kholil, silahkan perhatikan serangkaian santri-santri Syaikhona Kholil yang sekarang dikenal Kyai ternama dengan pondok pesantrennya yang membina ribuan santri diantaranya Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Presiden RI pertama Ir. Soekarno juga pernah berguru kepada beliau.

Adanya kekuatan spitual yang merasa bahwa Syaikhona Kholil tetap mengajar dan memberi bimbingan spitual bukan tidak beralasan, sebab jauh sebelumnya Allah SWT sudah wa wanti-wanti kepada kita bahwa para waliullah,suhada itu tidak mati melainkan hanya jazatnya saja, mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Ali Imran: 169-170)

Dalam sebuah teori Paralogika atau Supranatural disebutkan bahwa setiap living organisme, atau sebut saja manusia, merupakan perwujudan interaksi vitalistik antara organisme dengan soul menjadi white blank body  sehingga terbangun suatu komunitas interaksi semi vitalistik antara organisme sebagai menunjang spirit dengan reincarnated body yang terbentuk. Jadi Soul/Roh itu juga yang nantinya berfunsi sebagai  pembeda antara benda dan makluk hidup, jadi kalau kita sekedar hidup kemudian tidak memiliki visioning/cita-cita dan idealisme sama saja dengan sekedar hidup tetapi tidak ada kehidupan

Mereka yang terus memacu kehidupannya dengan cita-cita dan idealisme untuk menyempurnakan pengetahuan agamanya dengan menyatakan diri bahwa Syaikhonal Kholil sebagai gurunya, dengan sendirinya mereka telah memberdayakan soul/ruhnya sebagai unsur energi utama agar dirinya dapat mendeteksi dan terdeteksi dengan energi soul/Ruh dari Syaikhona Kholil. sehingga dengan istiqomahnya serta rakhmat dari Allah mereka akhirnya mendapatkan jalan keluar atas suatu permasalahan yang dihadapi,bisa mendapat hidayah berupa ilmu yang sebelumnya tidak diketahui bahkan tidak sedikit yang dipertemukan dengan beliau melalui ruh idhofinya
.
Itulah hakikat berguru secara ghoib, kepada para waliullah,ulama dan para suhada yang telah mendahului kita, Masalah kita sering menyaksikan tingkah polah orang  melakukan ziarah,tahlil,tirakat di margbaroknya (makamnya), rajin mengirim fatehah setiap selesai sholat, rajin mengaji di makamnya, meniru gaya berpakaian dan sepak terjangnya. Semua itu bukan hal buruk, apalagi disebut tahayyul karena komentar semacam itu menjadi sangat lucu apabila disampaikan oleh mereka yang sama sekali tidak paham akan hal-hal ghoib atau berbau klenik

Kalau kita terus saja terlena dengan gaya sok tahu, kawatir pengalaman salah satu murid saya juga terjadi pada anda, ceritanya pada saat pengajian rutin Lembaga DzikirKasabullah,ada salah seorang murid menghadap dengan membawa sebuah botol air mineral “Guru, alhamdulillah murid berhasil menangkap 6 jin,semuanya sudah murid masukkan ke dalam botol ini” saya tidak menolak dan juga tidak langsung menerima, cuma menimbali dengan satu pertanyaan saja, “ tahu besarnya jin?” ” tidak !!...guru. Jawabnya, Kemudian saya jelaskan kalau jin itu lebih besar dari rumah guru, sontak kepala murid itu menatap saya sambil manggut-manggut. Itu maksudnya bukan menyoal besar kecilnya jin, melainkan memposisikan dirinya kalau tidak tahu jin jangan menangi jin.

Komentar-komentar kita yang selalu “resek” dengan upaya-upaya mereka dalam memberdayakan soul/ruhnya sebagai unsur energi utama agar dirinya dapat mendeteksi dan terdeteksi  dengan energi dan body lainnya, yang menyebabkan mereka benci kepada kita, Padahal kita yang sering resek kepada mereka tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan apa-apa tentang apa yang mereka lakukan,isi hatinya,cita-citanya,amalan lalu mengapa kita begitu mudahnya menjustice, bahwa mereka telah mengerjakan kesesatan, kesyirikan,minta kepada jin? Sedang dirinya sendiri yang berkomentar  semacam itu atas perintah jin,tidak disadari. Lebih mulia mana melakukan bentuk ejekan semacam itu dengan mendoakan “ya Allah, aku mohon agar orang yang berada di sisi makam engkau kabulkan apa yang mereka doakan dan cita-citakan, agar mereka segera merasakan nikmatnya dan agar mereka segera pulang menemui keluarganya. Jawabannya tanyakan pada nurani kita dan jangan tanya kepada naluri kita,karena naluri itu pasti berbulu,bertaring dan berekor.#kasabullah

Selasa, 28 Juni 2016

sudut pandang karikatur

KARINGATUR

Kalau kita terlalu sibuk mengoreksi dan menyuruh orang lain, akhirnya lupa kalau yang paling pantas dikoreksi dan disuruh adalah dirinya sendiri


Senin, 27 Juni 2016

sebuah pengantar bagi yang berebut Lailatur Qodar

LAILATUL QODAR HANYA DOGENG
BY / R.YUDHISTIRA RIA, M.Pd /PIMP. PUSAT - GURU BESAR LEMBAGA DZIKIR KASABULLAH/27.07JUNI


SEPULUH hari terakhir bulan Ramadhan 1437 H sudah tiba, tepatnya 2 hari yang lalu, akan tetapi sedikitpun tidak terkesan Exslusif, semua nampak datar dan hambar. Masjid dan Surau tampak sepi setelah mereka yang bertadarrus pulang. Justru yang ramai di Mall dan tempat-tempat terbuka yang menjual aneka pakaian  dan alas kaki model terkini. Sementara anak-anak kita dengan bangganya menyewa jalan raya dijadikan lapangan sepak bola mini tanpa berpikir panjang, Apakah keputusannya itu dapat membahayakan keselamatan jiwanya dari kecelakaan lalu lintas, mengancam kesehatannya dari  Broncitish karena bertelanjang dada dan yang pasti sangat mengganggu pengguna jalan utamnya wanita.

Lailatur Qodar itu apa dan mengapa menjadi begitu penting bagi kita ? Lailatul Qodar adalah Doorprice dari Allah Yang Maha Agung yang diperuntukkan bagi hamba-hambanya yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan, bukan hanya sekedar mencegah lapar dan dahaga, tetapi semua bentuk lapar dan dahaganya nafsu dijaga dengan ketatnya, sehingga yang ada tinggal nafsu mutmainnahnya saja. Dengan modal nafsu mutmainnah tersebut apabila kita ikhtiarkan mendapat hidayah Lailatur Qodar, pada 10 malam terakhir dan utamanya di malam-malam ganjil ”Carilah malam malam Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir.” (Muttafaqun ‘alaih) dengan cara Ittiqab di masjid, maka Allah sempurnakan lebih banyak lagi nilai-nilai kebaikan kepada kita. Sekalipun ditempuh dengan amal yang sedikit dalam waktu yang amat singkat (24.00 – 04.00) sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Qadar ayat 3 “ malam Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan”

1000 bulan itu bukan waktu yang sedikit kalau kita kalkulasi ke bilangan hari menjadi 30.295 hari atau selama 83 tahun, sungguh Doorprice yang harus dicatat di The Guinness Book of Records  sebagai satu-satunya hadiah terbesar sepanjang masa. Cara mendaftarpun amat gampang dan murah bahkan gratis, tidak seperti kontes Ratu sejagat yang menghabiskan milyaran rupiah dan belum tentu dapat, Sedang menjadi peserta Lailatur Qodar cukup mensucikan diri dengan berta’awud (berwudhu) kemudian yang suka sholatul qiyam ya sholat sunnah malam, yang suka ngaji ya mengaji yang suka berdzikir yang berdzikir yang suka bertafakkur yang bertaffakkur. Yang penting kita berikhtiar melakukan ibadah langsung kepada Allah.

Pengantar singkat ini, dimaksudkan agar Lailatur Qodar tidak sekedar jadi dongeng dari waktu ke waktu hingga waktu kita habis hidup di dunia ini, ayo kita bangkit siapa tahu malam ke 23 ini, Allah jadikan waktu mengundi doorprice yang banyak diperebutkan oleh umat islam di seluruh jagat dan kita tahu bahwa kedudukan doorprice itu hanya akan diberikan bagi mereka yang memegang kupon (orang beriman) dan yang hadir disaat pengundian (ikthiar melakukan ibadah sunnah). Yang kita tidak tahu adalah bahwa Allah tidak sama dengan panitia-panitia pada umumnya sekalipun yang memegang kupon datang semua, tapi kenyataannya yang dapat cuma sebagian, mengapa? Karena panitia tidak sekaya Allah Yang Maha Kaya. Jadi jangan ragu silahkan sambut Lailatur Qodar kita akan mendapatnya.


Datangi dan berebutlah Lailatur Qodar malam ini atau malam-malam berikutnya dengan segala bentuk ikhtiar sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, bukan soal yang diamalkan melainkan soal pengabdian, ibarat tukang kebun dengan ilmu sedikit tetapi dapat bekerja dengan baik dibanding staf yang ilmunya banyak tapi cara bekerjanya semaunya, mana yang lebih menyenangkan hati direkturnya dan siapa yang lebih berhak ditambah gajinya? Itulah kenyataannya. Lalu Mengapa kita selalu lari dari kenyataan? #lembagadzikirkasabulah 

Sabtu, 25 Juni 2016

arti buka puasa sebenarnya


BUKA BERSAMA TIDAK HARUS BERSAMA

Biasakan diri kita, berbagi kepada mereka, dalam setiap saat berbuka, dengan makanan dan minuman yang kita makan disaat itu,agar mereka bahagia merasakan nikmatnya berbuka puasa ramadhan, sebahagia kita mendengar kabar mendapat pahala.

Rabu, 22 Juni 2016

catatan seputar setan dipenjara di bulan ramadhan

ADA SETAN YANG LUPA DIPENJARA
by. R. Yudhistira Ria, MPd /Pimp.Pusat-Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah

Sejak ingusan orang tua,guru ngaji (belum ada istilah ustat) di surau-surau kecil, yang kita datangi dengan penerangan yang amat sederhana berupa obor yang dibut dari pelepah pohon kates disumbal kain bekas, berbahan bakar minyak tanah, sudah mengajari kita sebuah pengetahuan bahwa semua setan dipenjara oleh Allah SWT disaat bulan ramadhan dengan tujuan agar umat islam yang berpuasa tidak diganggu.

Seketika hati kita menjadi bangga dan merasa bahwa Allah begitu hebatnya melindungi hambanya yang melaksanakan ibadah puasa Alangkah sangat meruginya kalau sampai tidak ikut berpuasa karena peluang mendapat perlindungan tidak ada. Kendati disaat itu kita sangat buta terhadap difinisi iman, tetapi soal ketaatan kita mempunyai kondisi sekwalitas para kyai,ulama dan wira’i di zaman sekarang, yang nilai-nilai taatnya sangat ditunjang dengan  pemahaman agama sangat mendalam

Modal kesukaan terhadap sosok Allah SWT yang begitu Super Hero dimasa anak-anak, telah membentuk karakter bocah-bocah ingusan menjadi benar-benar takut (taat) sehingga apa yang diucapkan orangtua kita asal menyangking nama Allah,nama Pangeran,nama Gusti,nama Hiyang sudah menjadi fatwa dan sabda yang harus direspon “sami’na wa ato’na”didengarkan dan dito’ati. Disisi lain ada pembentukan karakter lain yang menyuburkan perasaan nyaman dan aman apabila bulan puasa tiba, dengan tidak lagi takut kepada setan saat keluar malam melintasi pekuburan dan tempat-tempat angker

Pikiran nakal untuk menyoal tentang apa yang dibahas para ustat,kyai dan ulama seperti santri di masa kini sebenarnya ada, cuma bedanya soal etika saja, yang kebablasan akibat dorongan rasa penasaran dan rasa keingintahuan yang luar biasa, sehingga kemulyaan dirinya menjadi nampak sangat begitu dungu kalau disebut sebagai santri, bagaimana tidak? Mereka menentukan sendiri pilihan mengaji kepada ustat,kyai atau ulama berdasar kriterianya sendiri, tetapi setelah menjadi santrinya justru meragukan akan kemampuan gurunya dengan bertanya “dasar dalilnya apa”. Sepintas kita lihat itu santri yang hebat,akan tetapi kalau direnungkan justru santri itu melecehkan akan kemampuan gurunya sekaligus mengakimi kalau pada tatap muka yang akan datang gurunya tidak akan membahasnya lebih jauh.

Prilaku santri/murid yang lepas dari pesan  sami’na wa ato’na sangat ditunjang oleh matinya pola pikir yang dimiliki. Semua distandarkan dengan apa yang dialami dalam sosialisasi,pelatihan, penataran, sarasehan,workshop dan seminar yang memang harus terkondisi seperti itu, karena waktu bertemu dengan narasumbernya hanya sebatas disaat acara itu berlangsung. Beda dengan kita yang mengenyam pendidikan umum dan di pesantren yang mempunyai tahapan berjenjang yang terkadang dasarnya dibuka saat duduk di bangku SD, kemudian dikupasnya baru setelah  di SMA,sehingga menjadi sangat tidak elok apabila ada peserta didik yang menyoal gurunya “bapak menerangkan begitu dasarrnya apa? yang pasti dasarnya bukan persoalan yang dibahas disaat itu, melainkan SK Menteri Pendidikan atas alasan yang bersangkutan telah menyelesaikan kuliah  pendidikan mengajar dari  Universitas atau Akademi yang telah digodok dengan matang agar ilmu pengetahuan itu bisa diberikan disaat mengajar
.
Begitu juga di Pondok Pesantren, tahapan-tahapan dalam membahas pasal dalam kitab kuning  Salaf Fiqih perlu dikuti secara berjenjang yang memakan waktu panjang, Pertama Kitab Safinah, yang berisi tentang uraian dan pembagian pasal-pasal saja, Kedua Kitab Kasyifah Al Syaja, perincian terhadap pasal menjadi sub-sub topik terperinci seperti: far’, tanbih, tatimmah, tafshili, dan masalah dan ketiga Kitab Al Taqrib dan syarah-nya, yang cara penguraiannya dibagi menjadi beberapa kitab dan dalam setiap kitabnya membahas beberapa pasal yang terperinci.

Mengapa hal ini menjadi penting untuk disisipkan? Semata-mata agar proses belajar dan mengajar bisa terprogram sesuai skedul yang teruji, sebab tidak sedikit pertanyaan yang dimunculkan bisa merusak materi yang akan dibahas disaat itu, karena nara sumber begitu nyamannya melayani dengan berbagai referennsi yang dipaparkan, akhirnya peserta didik lain yang sebenarnya tidak punya kepentingan sama sekali terhadap apa yang ditanyakan itu hanya akan membuat mereka sia-sia. Maunya mengaharap tambahan ilmu baru dari gurunya, justru hanya dipaksa menjadi pendengar setia terhadap pertanyaan yang tidak mewakili? Dikatakan mewakili bagaimana? kalau sebelum bertanya tidak menyebar poling kepada mereka tentang apa yang akan ditanyakan. Inilah perbuatan egois yang selalu kita lakukan dan kita merasa bangga atas dosa-dosa yang disengaja (bukan tidak disengaja)

Dengan tidak dipersoalkannya disaat itu kepada guru ngajinya bahwa syaitan dipenjara pada bulan ramadhan yang semata-mata hanya memegang teguh sami’na wa ato’na, toh tidak membuat kita selamanya dungu terhadap apa yang membuat kita penasaran di saat itu, ternyata semua menjadi paham  bahwa berdasarkan hadits Rosulullah Muhammad SAAW “Apabila bulan Ramadan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”. Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1899. Muslim, no. 1079, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu) mengisaratkan bahwa bulan ramadhon adalah bulan yang penuh dengan berokah dan marfiroh

Barokah (melimpahnya nikmat Allah berupa pahala)
      Ditandai dengan dibukanya pintu-pintu surga, maksudnya pintu surga itu apa? Kemudian kita dipersilahkan masuk melaui pintu manapun itu maksudnya bagaimana? Kalau yang kita persoalkan itu hanya berputar-putar pada urusan bahasa, selamanya tidak akan pernah terjawabkan, apalagi mereka yang bisanya merespon “wallahuaklam bissawab” tambah tidak ada satupun yang kita lakukan, kecuali membawa persoalan yang tidak memerlukan jawaban itu sampai nama kita diumumkan di masjid sebagai pertanda kalau usia kita tutup
.
         Kita tahu dan paham bahwa fungsi pintu merupakan akses  keluar masuk, akan tetapi karena surga menjadi tujuan tempat tinggal, berarti kita tidak perlu menggunakan pintu itu sebagai akses keluar kecuali masuk saja, apa yang menjadi persyaratan masuk surga, melaksanakan ibadah dengan baik dan benar, berapa jumlah ibadah yang harus dikerjakan, jawabannya sejumlah pintu surga. Kalau begitu kita sudah bisa paham bahwa lewat pintu mana saja sebagai bentuk tantangan kepada kita bahwa pintu di surga itu banyak, lalu mengapa kita tetap mengerjakan ibadah yang sedikit? Silahkan masuk lewat pintu ibadah sholat ,zakat, puasa, haji,mengaji,dzikir,silaturakhmi,menyantuni anak yatim dan fakir miskin,saling memaklumi ,tolong menolong,sabar,ikhlas,tawakkal dan seterusnya apalagi dibulkan puasa yang amalnya dilipat gandakan, Subhanallah kita benar-benar merugi apabila mengabaiklannya
.
Margfirah ( dibukanya peluang ampunan Allah )
Ditandai dengan ditutupnya pintu pintu neraka dan dibelenggunya syaitan, maksudnya Neraka itu apa? Suatu tempat bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah dengan baik dan benar, lalu apa hubungannya dengan syaitan dibelenggu/dipenjara? Hubungannya sangat erat dan efektif karena berkat jasa dan perjuangan  para syaitan, yang menjadikan kita malas dan mengacau melaksanakan ibadah sampai kepada urusan akomodasi masuk ke pintu-pintu neraka, jumlahnya juga banyak, sebanyak aneka menu kejahatan yang ditawarkan oleh syaitan. Masyaallah kita sangat merugi apabila melalaikannya.

Bagaimana caranya Allah mengikat,membelenggu dan memenjara syaitan? Jawabannya melalui hamba-hambanya yang melakukan ibadah puasa dengan tekun,khusuk dan taat. Yang tidak hanya menjaga soal urusan konsumsi (makan,minum dan melakukan hubungan badan) melainkan juga menjaga urusan hati dari segala bentuk amarah (iri,dengki, hasat,hasut, ghibah, fitnah, dusta, khianat dan semacamnya). Kalau akses ke pintu pintu neraka itu kita tutup dengan melaksanakan puasa seutuhnya yaitu jasmani dan rohani, maka syaitan tidak punya pekerjaan menggoda kita lagi,kalau tidak punya pekerjaan sama dengan merasa diikat,dibelenggu dan dipenjara. Diibaratnya kita saat remaja, karena suka keluar pakai motor dan tidak tahu waktu, tiba-tiba kuncinya dirampas dengan orangtua kita, itu sama halnya dengan diikat,dibelenggu dipenjara walau ada motornya tetapi tidak bisa digunakan, lantaran kuncinya tidak ada, begitu juga dengan syaitan ada manusianya tetapi tidak bisa digoda, lantaran imannya sangat kuat.

Tetapi jangan bangga terlebih dahulu,lantaran kita sudah membatasi diri tidak keluar rumah kawatir tertarik makan dan minum di warung kroninya ibu Saini atau takut keluar rumah lantaran takut bertemu teman kemudian berdebat ala wakil-wakil rakyat kita di senayan atau di daerah yang saling mengumpat dan adu jotos. Lalu dianggap semua syaitan sudah kita ringkus dengan sempurna? Justru karena di rumah, kita menjadi lalai untuk merinkus salah satu syaitan yang paling efektif mengugurkan ibadah puasa kita sebelum sampai kepada waktunya, yaitu Syaitan Medsos apakah itu bernama blogger,twitter,instagram,facebook dan semacamnya, telah menjadikan syaitan itu berkeliran dan berpesta pora menggoda kita : dengan saling menyindir,saling meremehkan saling menghasut saling membodohi.

Model-model syaitan baru ini, begitu halusnya sehingga tanpa disadari kita terseret pada pusaran badai fitnah dan kebencian luar biasa. Sampai sampai lupa kalau kita itu sedang puasa. Lantaran ada yang memposting perlakukan orang di luar islam terhadap orang islam yang tampak sadis, serentak kita marah menghujat mati-matian tanpa crosscek terlebih dahulu. Misalnya memang benar foto yang kita liat itu asli tanpa diedit,kita bisanya cuma melihat apa yang dilihat tidak memahami aslinya mengapa sampai begitu? Misalnya ada orang islam yang mencuri di suatu wilayah yang mayoritas bukan islam, kemudian diadili oleh mereka, mengapa menjadi luar biasa? Sedang saudara-saudara kita soal bakar membakar,habis menghabisi para blomocorah itu menjadi pemandangan biasa yang tidak direspon dengan kebencian, melainkan kepuasan batin.

Belum lagi ada anak yang dipukul orangtuanya,padahal dipukulnya karena telah mencuri barang milik tetangganya,lalu kita serentak benci kepada orangtuanya, Apakah anak yang mencuri itu perlu diposting sedang menerima hadiah dari orangtuanya, kemudian kita respon dengan Like atau Waw begitu? Ada anak kecil yang saat kecelakaan lalu lintas terlepas dan terpental dari dekapan ibunya,tersungkur di semak-semak, lalu diposting fotonya kemudian kita emosi dan marah. Belum lagi yang memaksa-maksa kita untuk dishare dan untuk mengamini, kalau tidak mengshare dan mengamini bisa gini gitu ada apa? Kalau memang simpati dan empati galang dana saja kemudian serahkan, itu takwilnya akan lebih berarti bagi kita maupun bagi keluarga korban


Tidak cukup sampai disitu, baru baru saja ada cewek yang duduk di atas ka’bah tanpa busana, tanpa dikomando kita marah luar biasa, menghujat mati-matian dengan komen-komen yang tidak sepantasnya disebut orang islam yang dikenal berkata-kata santun pinuntun, wanita dalam postingan itu dihujat habis-habisan sampai kepada hal yang sangat sensitif miliknya  diumbar sedemikian joroknya, kita menjadi sangat bodoh disaat itu. Padahal bisa jadi wanita itu tidak tahu apa-apa kecuali dimanfaatkan secara action pose oleh yang mengedit, semestinya yang yang menjadi sasaran editornya atau yang memposting itu sendiri. Tapi Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian ada tampilan yang sama cuma  lakonnya beda yaitu seokor anjing yang lagi pub di atas Baitullah, kenapa kita kok tidak menghujat anjingnya seperti kepada wanita sebelumnya? Nah disilah iman dan akal kita dipertaruhkan, bahwa sesungguhnya kita itu termasuk orang-orang ceroboh, yang mudah tertarik dan terpicu emosinya oleh sesuatu yang tidak jelas.

Sedang kita melaksanakan ibadah puasa dilatih dan dibiasakan agar bisa menahan amarah dan emosi dari hal-hal yang jelas seperti mereka yang mencaci maki kita secara langsung,apalagi cuma sekedar dunia maya. Lewati saja teman-teman yang membuka peluang ke arah itu kalau perlu putus atau dihapus pertemannya agar pertahanan keimanan kita tidak tergerus sia-sia.#setandibelenggu 

Minggu, 19 Juni 2016

TIDURNYA ORANG PUASA BUKAN IBADAH
By. R.YUDHISTIRA RIA,M.Pd / Pimp.Pusat-Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah Indonesia / Juni 19,2016 

Telinga kita sudah terlalu akrap dengan sebuah hadits. Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam :
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصَمْتُهُ تَسْبِيحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya terkabulkan dan amalannya dilipat gandakan”.( Baihaqi di kitab “Syu’abul Iman”, 3/1437), saking akrapnya walau hadits itu diputuskan dhoif/lemah, bahkan palsu oleh sebagian besar Ulama dan Sholafussholeh ditinjau dari aspek sanad dan perowinya. tetap saja bersikukuh menggunakan hadits tersebut, terutama para pemuda yang dengan  banggannya menjawab “emangnya gak boleh ya, kan tidurnya orang puasa itu ibadah...”  saat ditegur  “puasa kok kerjanya molor” terus.

Awalnya memang pemuda, seterusnya jadi dewasa, kemudian berkeluarga, akhirnya melahirkan seorang pemuda lagi.... yang kerjanya molor, disaat bulan ramadhan dengan alasan tidurnya orang puasa adalah ibadah, begitulah gambaran panjang tongkat estafet “tidur adalah ibadah” dari masa ke masa hingga datangnya kita. Bersediakah kebiasaan tidur di siang hari diwariskan kepada pemuda (baligh) agar kelak saat punya pemuda tetap diteruskan kepada pemuda-pemuda berikutnya?

Menyikapi kedudukan hadits seperti itu, kita tidak perlu berdebat dengan teman sepergaulan tentang shoheh dan dhoifnya, karena akan menimbulkan sikap arogan “menang-menangan” atau “kuat-kuatan” baik perorangan maupun kelompok/organisasi. Dasarnya memang tidak ada, kecuali suka-suka, bagi yang suka tidur akan merespon “kalau aku yes” sedang yang tidak suka tidur akan merespon “kalau aku no”hukum bukan soal Yes dan No.

Karena yang berhak memutuskan hukum syar’iyah dan fiqiyah itu bukan kita sebagai umat, melainkan urusan ulama dalam hal ini MUI, lalu mengapa lembaga ini tidak memberi suatu ketegasan semacam memberi fatwa haram bagi perokok? Kata Gus Dur “Jangan tanya ke saya,tapi tanya ke MUI, itu saja repot......”  Sebenarnya kesalahan hadits ini tidak banyak, cuma satu, yaitu  “mengapa sampai terdengar oleh telinga kita”, itu saja. Seandainya tidak terlanjur terdengar,  kan  tidak mungkin ada  perdebatan panjang yang tidak berkesudahan.

Yang menjadi amat janggal, mengapa hadits itu menjadi penting? Apakah karena karakter kita memang suka melaksakan hukum agama yang menguntungkan dari sisi pelaksanaan  dan bukan menguntungkan dari  nilai pahala Allah SWT. Perhatikan saudara kita yang beralasan melaksanakan sunnah Rosul, seperti Beristri lebih dari satu padahal aslinya agar sahwatnya tersalurkan, Senyum adalah Sodekoh aslinya cuma kikir,  Makan Sahur  menjelang imsak diikuti semata mata agar tidak kelaparan, Lebih baik memberi sedikit tapi ikhlas,daripada banyak tidak ikhlas itu cuma kawatir hartanya berkurang dan semacamnya, sedang sunnah Rosulullah Muhammad SAAW yang berat-berat  seperti saat ; Tidak ada makanan diniatkan puasa, Makanan yang akan dimakan diberikan kepada yang lebih lapar, Diludahi tidak membalas, Istiqomah melakukan sholatul qiyam. Mereka tidak mengikuti sunnahnya dengan alasan. walau tidak dikerjakankan kan  tidak berdosa” Itulah potret ibadah kita.

Sebenarnya hukum dalam Islam itu ada dua 1. Dalil Naqli (etimologi)  2.    Dalil Aqli (terminologi). Dengan penjelasan : dalil mempunyai  makna dasar/landasan dan tuntunan atau yang menjadikan bukti dalam  melaksanakan perintah dan larangan ibadah, yang besandar kepada Al Quran dan hadits dinamakan Dalil Naqli, sedang  hukum yang disandarkan kepada Akal disebut Dalil Aqli,

Adanya klasifikasi sumber hukum di atas setidaknya bisa dijadikan pemandu hikmah bagi kita dalam upaya menyisir suatu perkara yang tidak jelas, sebut saja perkara “tidurnya orang puasa adalah ibadah” dengan menggunakan nalar akal sehat. Dalam kondisi tertentu kita tidak perlu merasa ragu untuk melakukannya, karena Allah SWT sangat menghargai hal semacam itu, “Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Qs. Al-A'raf: 179)

Kalau begitu, ayo kita belajar menyisir sesuatu yang tidak pasti dengan menggunakan Dalil Aqli / Akal Sehat :
1.      Golongan Orang yang tidak dihitung Amal Baik dan Buruknya
a.       Anak-anak hingga aqil baligh
b.      Mabok hingga tersadar
c.       Tidur hingga terbangun
2.      Syarat rukun ibadah
a.       Berniat
b.      Dilakukan dengan sadar semata rasa cinta,rasa harap,rasa takut kepada Allah
c.       Menyengaja

Berbekal dua kaidah tersebut dapat  memposisikan bahwa“Tidurnya Orang berpuasa adalah Ibadah” seperti apa? Dilihat dari golongan amal baik, jelas tidak dapat, karena tidur  tidak memperoleh pahala puasa, dari berangkat tidur hingga terbangun.Ditinjau dari rukun dan syarat ibadah, posisi tidur pasti tidak sadar sehingga menyengaja melakukan ibadah puasa juga tidak mungkin,sehingga untuk memperoleh pahala puasa tidak dapat.

Memang kondisi perut lapar serta cuaca panas menjadi alasan, mengapa tidur menjadi  tuntutan yang harus dipenuhi. Tetapi apakah puasa yang hanya terjadi 1 tahun sekali dan amalnya dilipat gandakan itu, harus terjual dengan rasa kantuk tidak bisakah bersabar barang sejenak  menahan rasa kantuk ” Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10) ya karena kita tidak mau bersabar, akhirnya puasa kita yang semestinya pahalanya 12 jam, menjadi berkurang.

Sekalipun kita telah bisa memastikan bahwa, tidurnya orang berpuasa bukan merupakan ibadah karena tidak mendapatkan apa-apa bahkan sangat merugi karena kesempatan meraih pahala yang melimpah ruah dibuang sia-sia. Bukan berarti kita punya kewenangan apalagi kekuasaan untuk menyalahkan orang lain,  yang tetap tidur disaat melaksanakan ibadah puasa, karena hal semacam itu bukan pewaris  akhlak Rosulullah Muhammad SAW yang tekun,sabar dan tidak putus asa membimbing umatnya beriman kepada Allah SWT.


Mereka yang tidur disaat puasa, kalau kita tafakkuri lebih jauh, sebenarnya tidak ada yang salah  kecuali merugi,  karena  puasa itu adalah ibadah yang batal apabila: makan,minum dan melakukan hubungan sex di siang hari, sedang tidur  tidak  menjadi syarat  batalnya ibadah puasa. Jelas sudah bahwa apa yang dimaksud “Tidurnya Orang berpuasa adalah Ibadah” bukan tidurnya yang ibadah, melainkan puasanya karena sekalipun tidur puasanya tetep lanjut atau Ibadahnya tidak batal

Lain dengan  ibadah sholat, kalau sampai tertidur apalagi tidur maka sholatnya tidak boleh dilanjut karena ibadahnya batal, Dan alasan itu juga mengapa sampai saat ini kita, tidak mendengar Tidurnya orang sholat adalah ibadah, karena tidurnya membatalkan ibadah sholat.  “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (al-Baqarah : 197) Masih mau tidur?#tidurnyapuasa

Kamis, 16 Juni 2016

LEBIH BAIK MELIHAT 1 KALI DARIPADA MENDENGAR 1000 KALI

闻不如一见,百见不如一
bǎi wén bù rú yī jiàn, bǎi jiàn bù rú yī gān
By. Yudhistira Ria, M.MPd/Pimp.pusat-Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah Indonesia/juni,16.2016


Menjalani roda kehidupan acapkali mengalir begitu saja, tanpa ada inisiatif untuk mencari tahu nilai dan makna sebenarnya atas apa yang kita ikuti dan jalani, baik dengan cara menelaah, mengkaji maupun mengevaluasi. Bahkan kalau perlu diadakan tesis ilmiah sesuai dengan disiplin ilmu yang terintegrasi. Agar nantinya diakhir cerita tidak dijadikan sumber inspirasi dagelan seperti acara di transtv bergenri  Dr. OZ, yang intinya berusaha menguak dan membuktikan ikhtisar kebenaran  atas sangkaan masyarakat terhadap suatu tradisi yang bergaransi ratusan tahun dengan model kusiuner “ mitos atau fakta.  Penyerapan Informasi dan Penerapan Tradisi berbau religi yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita terus terjaga dengan rapinya melalui pemberdayaan kultur di pondok pesantren. Apakah itu suatu pilihan dan tindakan  buruk ? Jawabannya “tidak” dengan catatan kalau yang dipertahankan itu, menyangkut masalah Syariah, akan tetapi apabila menyangkut soal Fiqih, bisa saja dikaji ulang  melalui beberapa literatur ilmiah yang tingkat kebenarannya tidak diragukan lagi.
Kata syarî’ah
Syarî’ah merupakan kata kerja syara’a yang mempunyai beberapa difinisi diantaranya Nahaja (menempuh), atau Awdhaha (menjelaskan) atau bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum-yasyra’u- syar’an artinya adalah  sanna  (menetapkan). Atau bisa juga diasumsikan para pengikut mazhab dan tharîqah mustaqîmah ( jalan yang lurus) dari semua pendekatan dimaksud akhirnya para ulama menggunakan istilah syarîah sebagai aturan agama yang ditetapkan oleh Allah Swt yang bersumber pokok dari wahyu ilahi dan atau atas kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu Allah SWT untuk mengakomodasi kebutuhan batin manusia sekaligus mencukupi kebutuhan  lahiriah manusia dengan istilah ibadah " Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku “ ( Qs. Adz-Dzaariyaat ayat 56 ) bagi yang melanggar atas hukum-hukum yang sudah Allah tetapkan sanksinya adalah dosa yang akan ditunjukkan di yaumul mahsyar berupa siksa atau hidup abadi di neraka. Walau tidak dipungkiri terkadang siksa-siksa itu sudah mulai dirasakan secara tidak langsung saat hidup di dunia.
Pengertian Fiqih
Fiqih secara pengertian bahasa adalah ‘paham’, atau  pengetahuan ikhwal hukum-hukum atau aturan yang berkaitan dengan perbuatan berdasar dari hasil pemikiran, kebiasaan dan pendapat dari para mukallaf (akhli agama) yang disandarkan kepada dalil-dalilnya yang terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta berupa ijma’ dan ijtihad. Sehingga menjadi jelas antara pengetahuan dan kedudukan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, mubah serta hukum syari’at dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat, rukun, kewajiban atau sunnah.  Bagi mereka yang  melanggar atas hukum positif konvesional yang dirancang, disusun dan ditetapkan oleh para Mukallaf / Ulama. Sanksinya bisa berupa dosa kepada Allah SWT, Apabila hukum yang dilanggar tersebut sesuai dan berkesuaian dengan syariah, akan  tetapi apabila tidak sesuai atau berkesesuaian dengan ketetapan Allah, maka sanksinya bisa berupa moral yaitu dengan merasa terposisinya kehidupanya di masyarakat menjadi terasing. Bahkan pelanggar Fiqih itu kalau hidup di wilayah khusus seperti Aceh yang menggunakan hukum islam maka hukumannya tidak cukup sebatas moral melainkan juga hukum berupa phisik bisa dengan jalan dicambuk atau dirajam yang pelaksanaan dieksekusinya dihadapan khalayak ramai.

Itulah salah satu alasan mengapa saya masih memberi lampu kuning, kepada sistem kultural (to be continued) ala pondok pesantren, masih  ada catatan istilah baik,  kalau sesuai syariah? Maksudnya hanya sebagai ungkapan rasa kekhawatiran biasa,   yang dimungkinkan masih memberlakukan pelaksanaan ibadah yang bersebrangan dengan  syariah (ketetapan Allah dan Rosulnya) atau istilah fulgarnya bid’ah, sedang bidah itu dosa, sedang dosa itu siksa, sedang siksa itu adalah neraka. “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim) Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim )

Pemahaman tentang istilah “ lebih baik melihat satu kali, dibanding mendengar 1000 kali”  rupaya telah menjadi kebanggaan bagi generasi muda sehingga hampir setiap masalah yang bersifat “ abu-abu” selalu ingin dibuktikan dengan indra penglihatan. Sebut saja soal “ Dua Kalimah Syahadat “ mereka berargumen “kalau syahadat kepada Allah SWT saya percaya karena saya bisa “melihat” langsung dengan adanya alam semesta, tetapi bersyahadat kepada Rosulullah bagaimana bisa? Boro-boro liat orangnya fotonya saja belum pernah”. Itulah akibat dari penafsiran suatu filsafat atau istilah yang tidak bisa direspon dengan baik karena distandarkan dengan pemahamannya sendiri. Padahal tidak semua pembuktian itu melaui pandangan mata, ada bagian-bagian yang secara spesifikasi melalui jalurnya masing-masing dalam membuktikan tingkat kebenarnnya, bunyi dengan telinga, rasa dengan lidah, angin/hawa dengan kulit dan religi dengan akal. Dengan begitu berarti bukan menjadi salah dan dosanya orang yang membuat istilah / filsafat “ lebih baik melihat satu kali, dibanding mendengar 1000 kali” melainkan salah kita sendiri yang tidak mempunyai nalar yang mumpuni, Kanjeng Sunan Kalijaga, pernah menggunakan istilah itu ketika rakyatnya terjangkiti badai fitnah atau issu membicarakan Syekh Siti Jenar, akhirnya beliau mengambil kebijakan, agar rayatnya berhenti membicarakan syekh Siti Jenar dengan istilah tersebut, dan hasilnya luar biasa. fitnah itu mendadak terhenti. Memang dimasa itu sedang ramai- ramainya fitnah atas sepak terjang Syekh Siti Jenar, orang yang mau bercerita keadaan sebenarnya tidak mungkin, karena semua pada takut mendekati padepokan Syekh Siti Jenar, sementara rasa penasaran terus mengalir, akhirnya satu-satunya cara mengarang cerita / fitnah.
Untuk menjelaskan “lebih baik melihat satu kali, dibanding mendengar 1000 kali” saya merasa perlu meminjam filsafat China kuno pada masa dinasti Han, Zhao Chong mengatakan “ bǎi wén bù rú yī jiàn, bǎi jiàn bù rú yī gān “ yang sekaligus saya jadikan judul, artinya kira-kira seperti ini Dalam mempelajari sesuatu, akan lebih mudah bila kita mempraktikan daripada banyak mendengar / membaca teorinya’’ penjelasan itu telah mengarahkan kita kepada peningkatan kepahaman, bahwa yang dimaksud melihat itu bukan sekedar interprestasi dari bahasa objek melainkan suatu makna subyek yang ditarget menjadi objek. Maksudnya yang didengar itu menjadi substansi atau objek utama berupa ilmu / teori sifatnya abstak (ghoib) tidak telihat dengan mata melainkan akal, baru setelah diaplikasikan dalam bentuk nyata / praktik. Dengan sendirinya  yang semula berbentuk abstrak  / ghoib berubah menjadi nyata berupa material / fisikal (dapat dilihat) dengan mata telanjang. Kalau kita perhatikan sesungguhnya falsafah China tersebut tidak terlepas dari wahyu Allah SWT ”Yaitu bagi orang yang mendengarkan perkata’an lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. ( QS. Az-Zumar Ayat : 17 – 18).
Dengan begitu kita bisa berasumsi kalau Al Quran yang merupakan wahyu Allah SWT sifatnya (ghoib) karena masih berwujud (hudan) petunjuk, teori, ilmu pengetahuan dan baru bisa dilihat nyata setelah kita jadikan amal sholeh, sebagaimana firman Allah ”Yaitu bagi orang yang mendengarkan perkata’an lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (Az-Zumar Ayat : 17 – 18). Itulah kandungan  rahasia yang dimaksud “Daripada mendengar seribu kali atau ribuan kali sedang Al Quran sendiri terdiri dari 6666 ayat atau kali, Subhanallah sekarang menjadi jelas, kalau Al Quran yang kita dengar melalui dibaca sendiri atau dibacakan orang lain tidak satupun bermakna baik bagi kita, terkecuali dari sekian banyak yang kita dengar itu ada satu  atau lebih yang kita tindaklanjuti dengan amal perbuatan / amal sholeh. dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS An Najm ayat 39). Kita berhadap di bulan yang penuh margfiroh dan berokah ini yang hampir di setiap penjuru berkumandang ayat-ayat suci Al Qur’an melalui saudara-saudara kaum muslimin yang bertadarrus di langgar, surau,mushollah dan masjid dapat kita dengar dengan baik, kemudian kita amalkan.#mukjizatalquran  


Senin, 13 Juni 2016

catatan kecil bagi ibu Saeni dan Pemkot Serang banten

catatan kecil bagi  ibu Saeni dan Pemkot Serang Banten

BERPUASA, SIAPA YANG MINTA DIHORMATI ?
By. R. Yudhistira Ria, M.Pd/Pimp.Pusat-Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah Indonesia/Juni,13.2016


Indonesia, sebagai satu-satunya negara yang penduduknya  mayoritas menganut agama islam di jagat raya ini, sudah tidak bisa dipungkiri lagi, seluruh nitezen di belahan dunia meng-share “like”. Namun yang patut disayangkan gelar “mayoritas” itu tidak berbanding lurus dengan visi, misi dan tujuan islam yang sebenarnya. Pengakuan dunia itu adalah ladang emas apabila kita setting sebagai ajang promosi gratis, kepada dunia internasional (baca penganut agama lain) bahwa islam adalah agama  rakhmatan lil alamin, yang sangat menjunjung tinggi sifat toleransi, memelihara perdamaian dan membangun sejahteraan. Kenyataannya justru yang digembar-gemborkan hal-hal bersifat siremonial, sakral maupun klenik. Keanekaragaman budaya nusantara setidaknya menjadi simulasi tolenransi tepat dan benar yang tidak dimiliki oleh negara manapun,  sekalipun ada negara lain yang mempunyai penduduk dengan mayoritas agama islam yang sama, toh disisi lain tidak memiliki banyak kaum minoritas yang mempunyai banyak perbedaan dari suku,agama,antar golongan yang semuanya memerlukan bukti dan kerja nyata agama kita, berupa hak mendapat  perlidungan dan hak diberinya keleluasaan untuk mengajukan hak dan kewajibannya dan bukan mengebiri hak-hak mereka menjadi wajib mengikuti otoritas kita selaku mayoritas. “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS: At-Taubah [9]: 6).
Ketidak pahaman atas Rakhmatan lilalamin itu atau islam,  tidak saja menyasar kaum minoritas semata, sesama muslimnya yang tidak seorganisasi, yang tidak semashab, yang tidak segolongan tidak luput dari bias missinya, bagaimana caranya agar mereka melakukan kegiatan yang sama dengan kelompoknya. Soal dengan intimidasi, teror dan semacamnya tidak lagi menjadi perkara yang perlu diliat kebenarannya. yang penting mereka sama dengannya. Sungguh pengakuan sebagai umat Muhammad yang perlu diragukan kebenarannya,  karena Nabi Muhammad SAAW tidak pernah memberikan contoh seperti yang mereka lakukan justru beliau tauladankan diantaranya
1. Nabi Muhammad setiap hari datang dan  menyuapi pengemis dari golongan yahudi yang buta, tua renta dan miskin, saat beliau menyuapi pengemis itu nyerocos berkisah Nabi Muhammad sebagai sosok orang yang jahat, yang mesti dijauhi dan musuhi.                  Sampai pada suatu ketika pengemis itu merasakan perbedaan kalau tangan yang menyuapi itu berbeda dengan tangan yang biasa menyuapinya selama ini. Benar sekali karena itu tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berusaha melanjutkan kebiasaan Nabi Muhammad SAAW sebagai tauladannya. Sejak saat itu Pengemis buta yahudi itu tahu, kalau ternyata orang yang biasa menyuapi setiap harinya adalah Nabi Muhammad SAW yang selalu menceritakan keburukan beliau dan sekarang sudah tiada.
2. Nabi Muhammad SAAW saat tinggal di Makkah, mempunyai rutinitas  mendatangi  Ka’bah, dan dalam setiap perjalanan beliau selalu mendapat perlakuan yang tidak pada tempatnya (diludahi) dari seorang Yahudi, Kendali beliau kerap diperlakukan buruk, tidak sedikitpun berupaya untuk membalasnya, bahkan saat orang yang sering berbuat jahil kepada Nabi Muhammad SAAW tidak melakukan kebiasaannya ternyata saat itu tidak ada justru bukan membuat beliau senang melainkan mencari tahu ikhwal pemuda tersebut. Saat diketahui kalau dia sakit, Nabi pun menjenguknya. betapa kagetnya  si Yahudi itu, karena Nabi Muhammad SAAW  yang selama ini diperlakukan buruk, justru menjadi menjadi orang pertama yang sangat peduli kepada kesehatannya
Dengan ditampilkannya dua contoh peristiwa penistaan dan penghinaan yang nyata dan langsung kepada Nabi Muhammad SAAW dan sedikitpun beliau tidak melawan yang semata-mata menjaga supremasi nilai-nilai Rakhmatan Lilalamin dari sekian ribu contoh  akhlak beliau lainnya, masihkan kita pantas mengakui sebagai umatnya Nabi Muhammad SAAW? “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahnat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” ( QS. Al-Ahzab ayat 21 ) dan menganggap lebih bagus ? karena Nabi Muhammad SAAW diam saja? Ingat lho ya yang menerima amanat langsung dari Allah SWT soal protap soal SOP melaksanakan Agama Islam dan tata laksana ibadahnya yang benar hanya Nabi Muhammad SAAW dan kita wajib mentoati tanpa dalih apapun “Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (Qs. An-Nissa ayat 59)
Peristiwa Serang “memilukan” yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu atau tepatnya  tanggal 9 juni 2016, terhadap pemilik warung makan ibu Saeni, menjadi bukti bahwa kita memang belum bisa  memahami  secara utuh Agama Islam sebagai rakhmatan lilalamin, yang menjunjung tinggi “ amar makruf wa nahi mungkar “ yaitu disaat kita menegakkan kebenaran, pikirkan juga tentang kelemahan, begitu juga sebaliknya. Jadi  keduanya harus dilakukan serentak seiring sejalan. bukan makrufnya saja melainkan mungkarnya dipikirkan juga. Katakan Pemkot Serang, Banten dengan payung hukum Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2010 (pencegahan/penanggulangan penyakit masyarakat) benar (makruf), tapi caranya yang salah (mungkar), diantaranya mengapa harus dilakukan dengan arogan ? bukankah saudara kita Satpol PP yang melakukan tindakan penertiban itu, juga muslim? “Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.“ ( HR. Al Bukhori).  Semestinya kalau kita paham, sebagai muslim yang taat, maka menyikapi kasus Warung Ibu Saeni itu dengan jalan :  1. Mengarahkan agar berjualan pada saat sore hari 2. Masakan ibu Saeni tidak disita, karena itu modal bergulir, kalau sekali saja dirampas berarti tidak bisa bejualan lagi karena modalnya sudah tidak ada 3. Makanan yang disita juga mau dikemanakan? Mau diserahkan kepada kaum duafa? Bukannya ibu Saeni sudah duafa? Tindakan represif sebagai sok terapy boleh saja kita pilih, akan tetapi, sok terapy dalam sabda Nabi Muhammad SAAW  di atas juga perlu kita perhatikan “... dan jangan pula bertindak bodoh.... “ Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 184).
Penerapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2010 Pemkot Serang, Banten terbilang “aneh tapi nyata” undang-undang tersebut setidaknya sudah berusia 5 tahun berjalan, tapi mengapa baru tahun ini gaungnya menjadi spektakuler-mengebrak issu nasional? Lalu mengapa semua ramai-ramai menghakimi Pemkot Serang Banten utamanya kepada Satpol PP selaku kepanjangan tangan dari sitemik, dengan kata-kata yang tidak pantas? Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta bahkan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.( HR.  Al. Bukhory ) sampai-sampai orang nomor satu dan nomor dua di Republik ini angkat harta dan angkat bicara, yang semakin memperjelas kalau Pemkot Serang Banten menjadi paling bersalah sehingga boleh dong dihujat?  
Rupanya kita semua tersulut emosi atas tanyangan video yang menampilkan saat teman-teman Satpol PP melaksanakan tugasnya sehingga pada lupa dan khilaf, kalau terbitnya Perda Serang Banten disebabkan adanya dua arus yang berkekuatan besar bersifat intruksi dan aspirasi rakyat, Intruksi maksudnya berasal dari pemerintah pusat, yang menghendaki walikotanya bisa menjalankan tugas pemerintahan daerah tertib dan kondusif,  sedang yang bersifat Aspirasi berupa usulan dari arus bawah  masyarakat utamanya dari kaum muslimin, yang meminta agar pelaksanaan puasanya dihormati oleh mereka yang tidak berpuasa. Setelah dirumuskan matang-matang, dipertimbangkan dan diputuskan menjadi Peraturan Pemerintah Kota kemudian diterapkan kepada masyarakat dan hasilnya menimbulkan kekisruhan nasional, Lalu mengapa kita cuci tangan sebersih bersihnya dan  menganggap sebagai produk perpu yang tidak populis? Mungkin bagi yang berpola pikir singkat,  tindakan Presiden dan wakilnya serta para nitizen yang menggalang dana, itu menjadi solusi positif, padahal tindakan itu justru menimbulkan preseden buruk di dalam pendidikan berbangsa dan beneragara,  yang seakan-akan membenarkan anggapan masyarakat umum bahwa pemerintah pusat dan daerah tidak nyambung dan berjalan sendiri-sendiri, semestinya teguran dari Wapres itu disampaikan kepada Walikota Serang seraya diarahkan untuk meminta maaf atas keteledorannya yang bertindak represif, begitu juga dengan uang santunan dari Presiden semestinya juga diberikan melalui Walikota Serang untuk selanjutnya diserahkan kepada ibu Saeni, bukan mengirim utusan, sehingga semuanya menjadi clear
Karena semua pada emosi dan geram sehingga mekanisme seperti yang kami maksudkan di atas tidak pernah ada, Akibatnya secara tidak langsung telah membuka peluang terbentuknya “preman-preman” baru, mengingat pelaku beranggapan walau melakukan tindakan melawan hukum toh ada backing-backing yang membackup. Akhirnya perseteruan warga dengan walikotanya terus berlanjut semakin tajam, karena merasa dijadikan tumbah oleh warganya kepada pemerintah pusat, bahkan walikota tersebut untuk selanjutnya  sudah tidak mempunyai nyali lagi untuk membuat tindakan tegas. Mungkin bagi yang pro kepada tindakan walikota serang juga akan membuat pertanyaan panjang mengapa tindakan yang benar kok justru menjadi salah? disisi lain juga akan memberi idea kepada calon pelaku berikutnya untuk melakukan hal yang serupa.

Setelah kita tafakkuri lagi, kekacauan itu tidak lepas dari ke”pede”an kita dalam melaksanakan ibadah puasa yang inginnya tampil “exlusif” semua orang harus menghormati kita, dengan ditulis besar-besar “Hormati orang berpuasa” padahal di luar sana ada orang yang benar-benar Allah perkenankan untuk tidak puasa, bukan penganut agama lain lho ya ini sesama islamnya yang wajib kita hormati juga " ( yaitu )  dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."  ( Qs.Al Baqarah ayat184 ) serta hadits Rosulullah Muhammad SAAW "Sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan bagi orang yang musafir  untuk tidak mengerjakan setengah shalat dan bagi orang yang hamil serta menyusui  untuk tidak berpuasa."(Hadits Hasan riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasai). Lalu mau kemana mereka para musafir, kaum yang lagi sakit, ibu yang sedang menyusui, anak-anak yang belum saatnya diberi beban melaksanakan ibadah puasa, untuk mendapatkan makanan siap saji, kalau tidak ada satupun warung yang melayani? Memasak? Ya kalau ada sanak keluaganya, bagaimana dengan musafir? Memangnya mau rekreasi bawa bekal? Maka dari itu yuk kita laksanakan ibadah puasa dengan ikhlas tanpa harus meminta uluran penghormatan mereke tehadap puasa kita, jadikan mereka yang tetap makan dan minum dihadapan kita sebagai tim penguji kwalitas ibadah puasa kita, dengan memastikan nanti nilai pahalanya lebih tinggi dibanding  mereka yang tidak ada penggodanya sama sekali, Kita samakan puasa ramadhan ini  dengan saat kita berpuasa sunnah entah senin kamis. kalau puasa sunnah saja kita tidak sibuk mengharap “penghormatan” mereka, tetapi mengapa justru disaat kita melakukan ibadah puasa yang sebenarnya yaitu puasa ramadhan harus bersikap melebihi puasanya anak kecil. Sebaiknya ibu Saeni berterus terang mengakui kesalahannya karena tidak bisa mematuhi perpu yang berlaku, sedang bagi bapak walikota juga minta maaf karena telah membuat tindakan yang melampaui batas, sedang yang lain tidak perlu merespon apa-apalagi kecuali Alhamdulillah dan atau  puji Tuhan,.#puasaramadhan  

Selasa, 07 Juni 2016

ALLAH TIDAK ADIL ?

oleh :  R. YUDHISTIRA RIA, M.Pd
( Pimpinan Pusat / Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah Indonesia )

Bukan satu dua kali saja kita mendapat cibiran dari mereka di luar islam yang dialamatkan kepada kita kaum muslimin dan muslimat, bahwa Allah itu ternyata tidak adil. “ Katanya Tuhanmu itu adil, mana buktinya? Kalau memang benar beriman kepada Tuhanmu harus melalui hidahyahNYA? Buktinya sampai saat ini saya tidak diberi hidayah untuk menganut agama islam seperti yang kamu yakini, kalau begitu tuhanMu itu tidak adil dong, yang tega membiarkan aku masuk neraka menurut kitabmu di al Qur’an.... “  Itulah sepenggal kalimat yang sangat akrab menggaung di gendang telinga, saat kita mengadakan diskusi illegal di warung, di angkot, di pasar dan tidak jarang di dalam ruang belajar.

Pertanyaan bernada sanggahan itu, kalau tidak dapat kita jelaskan secara kongkrit dan ilmiah, akan membuat mereka yang awalnya simpatik menjadi antipati. Bahkan sangat boleh jadi  ujung-ujungnya justru akan menjadi bumerang bagi keimanan kita sendiri, Bagaimana tidak ? toh kenyataannya memang begitu. Ntah mereka menyengaja atau tidak?  Yang jelas kalau mereka bersungguh-sungguh, mengapa tidak bertanya langsung kepada ustat, kyai dan pakar agama kok malah bertanya kepada kita-kita yang “ tung blantung”( istilah madura bagi pemuda pengangguran yang tidak memikirkan nasibnya malah sukanya nongkrong) yang sangat hijau akan pengetahuan agamanya, seandainya mereka bertanya kepada akhlinya, sekalipun jawabannya belum tentu membuat mereka puas, setidaknya “uneg-uneg” mereka dapat terakomudir dengan baik, Anehnya juga, walau kita sendiri  sadar bahwa apa yang ditanyakan itu bener-benar tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk menjawabnya. dengan pede-nya kita tetep saja  mencoba untuk menjelaskan. Walau bukan peramal endingnya sudah bisa ditebak, masalahnya makin berkembang sementara penyelesaiaannya tidak ada. Akibatnya mereka semakin ragu untuk menganut agama islam. Mungkin dengan alasan ini juga mengapa Rosulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Alihi Washallam berpesan “Tunggu saat kehancuranannya, apabila amanat itu disia-siakan!” Para sahabat serentak bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari)

Sabda Rosulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Alihi Washallam tersebuat seakan mengingatkan kepada kita, bahwa kehancuran dimaksud bukan saja berlaku bagi mereka yang ditangani, melainkan kehancuran itu akan dirasakan juga oleh mereka yang menangani. Bagi yang ditangani menjadi korban dan menanggung beban penderitaan, kerugian dan kesesatan sedang bagi yang menangani menanggung beban moral berupa harcurnya nama baik dan martabatnya sehingga tidak ada satupun yang mempercayai.

Ini sekaligus peringatan bagi kita. agar tidak mudah terjebak oleh  situasi dan kondisi yang sebenarnya kita tidak tahu menahu tentang apa yang mereka maksudkan, memaksakan diri untuk mengatasi masalah disaat kita benar-benar tidak punya pengetahuan  tentangnya adalah suatu kesombongan.  Sombong itu tidak harus “wah” karena ketakutan yang terlalu jauh merupakan sombong yang sebenarnya, seperti takut dirinya tidak diakui ke alimannya, kecerdasannya dan latar belakang pendidikannya. Padahal sombong itu adalah selendang Allah, jadi apabila kita memakainya yang tunggu saja kemarahan Allah, dengan berbagai konsekwensinya ya paling tidakAllah akan mencabut martabat dan harga dirinya di hadapan Allah dan manusia "dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (krn sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dg angkuh. Sesungguhnya Allah tdk menyukai org2 yg sombong lagi membanggakan diri" ( QS.Luqman:18)  sebagai mana firman Allah SWT dalam salah satu hadits qutsi, "Keagungan adalah pakaianKu, kesombongan adalah selendangKu, barangsiapa yang mencabutnya dariKu salah satu dari keduanya, maka Aku akan mengazabnya."  (Hadits Qudsi riwayat Abu Daud, Ibnu Majjah, Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani)

Dua hal penting dalam menyikapi kehidupan dan prikehidupan di dunia ini, utamanya menyikapi soal aqidah atau keyakinan menganut agama. Dua hal pokok dimaksud adalah  Takdir dan Pilihan. Dengan penjelasan bahwa Kelahiran adalah Takdir sedang Agama adalah Pilihan, kalau sudah jelas bahwa Agama merupakan pilihan sebagai mana firman Allah “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam),  sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang(teguh) pada tali yang yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendegar, Maha Mengetahui ( Al-Baqarah: 256 ). Bahkan dalam hukum positif Internasional PBB /18 the Universal Declaration of Human Rights menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan fikiran, hati nurani dan agama. Dalam hak ini, termasuk berganti agama dan kepercayaan, kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengerjakannya, mempraktikannya, melaksanakan ibadah dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri”.  Begitu juga dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Lalu mengapa manusia menjadi sibuk dengan mempermasalahkan soal hidayah, bahkan berani mengatakan Allah tidak adil ? Bukankah bagi mereka yang telah menentukan pilihan agamanya, tidak bersikukuh menyatakan bahwa agama yang baru saja dianutnya atas pilihannya sendiri. Itulah yang dimaksud dengan bias hidayah / karunia Allah SWT, setelah manusia itu menentukan pilihannya “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” ( Qs. Ar Rad ayat 11) Yang berarti bukan Allah yang tidak adil melainkan diri kita yang tidak memahami tentang keadilan Allah. Bukan Allah yang tidak mau memberi hidayah, melainkan kita sendiri yang tidak memahami jalan-jalan mendapat hidayah Allah.

Silahkan perhatikan kondisi obyektif di lapangan statement mereka para Muallaf yang kita minta pendapatnya, mengapa kamu pindah kenyakinan? Mereka rata-rata menjawab “Saya menjadi Muslim karena hidayah Allah.” Begitu juga dengan seorang muslim yang masuk agama lain. mereka juga memberi tanggapan yang sama “.....karena karunia Tuhan”. Jika pada keduanya mengaku hidayah dan karunia Allah, masihkah kita berani bersikukuh bahwa agama yang dianut merupakan pilihan pribadinya? Tentu saja tidak. Hidayah dan kehendak Allah adalah ketetapan Allah yang sudah ditakdirkan sebelumnya. Sedang takdir merupakan kausa prima Allah yang tidak boleh kita mentahkan dengan pertanyaan dan pendapat apapun.“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. (QS. An-Nisa: 165)

Mendengar masih ada manusia yang “menggugat” Keadilan Allah, saya kok ingat semasa kecil, saat mo berangkat tidur selalu diinabobokkan oleh Abah dengan dongeng-dongeng budi pekerti, seperti salah satunya begini : “ pada suatu hari ada seorang pengembala yang sedang merebahkan tubuhnya di bawah pohon beringin yang rindang untuk melepas rasa penat menjaga hewan ternaknya, sambil merebah sorot matanya tertarik memperhatikan buah beringin yang amat kecil bergelantungan di ranting pohon beringin yang besar dan  rimbun, sesekali pandangannya mengitari alam sekitarnya, sampai akhirnya sorot matanya terhenti kepada buah lawu yang amat besar sementara pohonnya kecil merambat. Rupanya dua obyek yang sempat dilihatnya itu telah membuat keimanannya terganggu, dalam benaknya mulai protes seraya meragukan keadilan Allah, “ kata siapa Allah itu adil? Buktinya beringin pohonnya besar sementara buahnya kecil, sedang lawu buahnya besar pohonnya kecil. Jelas Allah itu tidak adil.....Allah tidak adil......Allah tidak adil gumamnya, hingga terlelap tidur.

Tidak berapa lama kemudian, pengembala itu terperanjat bangun, disebabkan hidungnya kejatuhan buah pohon beringin.......seketika pengembala itu sujud syukur dan menangis meraung-raung menyesali pikiran nakalnya yang telah menyebut Allah tidak adil.... “ampun ya Allah”. .... “ampun ya Allah” .... “ampun ya Allah”  Engkau benar-benar Maha Adil, ............ Engkau Maha Adil...... Maha Adil. sendainya buah pohon beringin itu sebesar buah lawu dan menimpa hidungku...mungkin hidungku sudah hancur berantakan.........”

Itulah kehebatan pendahulu kita, yang selalu mengajak anak keturunannya beriman kepada Allah Azze wejellah melalui cara-cara yang tidak langsung. cukup dengan qiyas, cerita dan perumpamaan-perumpamaan atas apa saja yang sudah dikenalnya dengan baik seperti binatang, buah-buahan, gunung, bulan bintang dan semacamnya. Hasilnya luar biasa mengakar kuat dan tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun, apa rahasianya? Konsep pendahulu kita mengajari bagaimana caranya bertafakkur sehingga sejalan dengan perkembangan phisik dan psikisnya akan terus nalar, beda dengan metode masa kini pelafatan huruf hijaiyah yang tidak tepat sesuai dengan makhraj dan tajwid sudah membuat anak-anak kita sangat hina dan nista...dikatakan bodoh, malas dan pangkat-pangkat yang tidak pantas lainnya, bahkan tidak sedikit yang disangsi dengan hukuman fisik, Karena target pendidikannya hanya untuk bisa membaca Al Quran saja, ya menjadi pantas apabila setelah dewasa walau pinter mengaji tetapi kerap berbuat hal yang tidak terpuji.


Mengapa hal itu bisa terjadi? Ya karena mereka sebatas diberi pelajaran membaca huruf hijaiyah yang ada di Al Quran dan bukan membaca ( tafakkur ) alam semesta yang tersirat di Al Quran. Sehingga saat membahas tentang hidayah dan keadilan Allah menjadi sangat miskin, padahal apa yang kurang pada dirinya menghatamkan al Quran sering kali. Ya karena memang tidak ada bekal tafakkur,  akhirnya saat ada pertanyaan yang aneh-aneh dari mereka di luar islam telah mampu menyeret keimanan kita menjadi ikut-ikutan “mengiyakan” secara sir hatinya bahwa Allah itu tidak Adil, Naudzubillah himindzaliq #allahmahaadil