Profil

Minggu, 19 Juni 2016

TIDURNYA ORANG PUASA BUKAN IBADAH
By. R.YUDHISTIRA RIA,M.Pd / Pimp.Pusat-Guru Besar Lembaga Dzikir Kasabullah Indonesia / Juni 19,2016 

Telinga kita sudah terlalu akrap dengan sebuah hadits. Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam :
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصَمْتُهُ تَسْبِيحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya terkabulkan dan amalannya dilipat gandakan”.( Baihaqi di kitab “Syu’abul Iman”, 3/1437), saking akrapnya walau hadits itu diputuskan dhoif/lemah, bahkan palsu oleh sebagian besar Ulama dan Sholafussholeh ditinjau dari aspek sanad dan perowinya. tetap saja bersikukuh menggunakan hadits tersebut, terutama para pemuda yang dengan  banggannya menjawab “emangnya gak boleh ya, kan tidurnya orang puasa itu ibadah...”  saat ditegur  “puasa kok kerjanya molor” terus.

Awalnya memang pemuda, seterusnya jadi dewasa, kemudian berkeluarga, akhirnya melahirkan seorang pemuda lagi.... yang kerjanya molor, disaat bulan ramadhan dengan alasan tidurnya orang puasa adalah ibadah, begitulah gambaran panjang tongkat estafet “tidur adalah ibadah” dari masa ke masa hingga datangnya kita. Bersediakah kebiasaan tidur di siang hari diwariskan kepada pemuda (baligh) agar kelak saat punya pemuda tetap diteruskan kepada pemuda-pemuda berikutnya?

Menyikapi kedudukan hadits seperti itu, kita tidak perlu berdebat dengan teman sepergaulan tentang shoheh dan dhoifnya, karena akan menimbulkan sikap arogan “menang-menangan” atau “kuat-kuatan” baik perorangan maupun kelompok/organisasi. Dasarnya memang tidak ada, kecuali suka-suka, bagi yang suka tidur akan merespon “kalau aku yes” sedang yang tidak suka tidur akan merespon “kalau aku no”hukum bukan soal Yes dan No.

Karena yang berhak memutuskan hukum syar’iyah dan fiqiyah itu bukan kita sebagai umat, melainkan urusan ulama dalam hal ini MUI, lalu mengapa lembaga ini tidak memberi suatu ketegasan semacam memberi fatwa haram bagi perokok? Kata Gus Dur “Jangan tanya ke saya,tapi tanya ke MUI, itu saja repot......”  Sebenarnya kesalahan hadits ini tidak banyak, cuma satu, yaitu  “mengapa sampai terdengar oleh telinga kita”, itu saja. Seandainya tidak terlanjur terdengar,  kan  tidak mungkin ada  perdebatan panjang yang tidak berkesudahan.

Yang menjadi amat janggal, mengapa hadits itu menjadi penting? Apakah karena karakter kita memang suka melaksakan hukum agama yang menguntungkan dari sisi pelaksanaan  dan bukan menguntungkan dari  nilai pahala Allah SWT. Perhatikan saudara kita yang beralasan melaksanakan sunnah Rosul, seperti Beristri lebih dari satu padahal aslinya agar sahwatnya tersalurkan, Senyum adalah Sodekoh aslinya cuma kikir,  Makan Sahur  menjelang imsak diikuti semata mata agar tidak kelaparan, Lebih baik memberi sedikit tapi ikhlas,daripada banyak tidak ikhlas itu cuma kawatir hartanya berkurang dan semacamnya, sedang sunnah Rosulullah Muhammad SAAW yang berat-berat  seperti saat ; Tidak ada makanan diniatkan puasa, Makanan yang akan dimakan diberikan kepada yang lebih lapar, Diludahi tidak membalas, Istiqomah melakukan sholatul qiyam. Mereka tidak mengikuti sunnahnya dengan alasan. walau tidak dikerjakankan kan  tidak berdosa” Itulah potret ibadah kita.

Sebenarnya hukum dalam Islam itu ada dua 1. Dalil Naqli (etimologi)  2.    Dalil Aqli (terminologi). Dengan penjelasan : dalil mempunyai  makna dasar/landasan dan tuntunan atau yang menjadikan bukti dalam  melaksanakan perintah dan larangan ibadah, yang besandar kepada Al Quran dan hadits dinamakan Dalil Naqli, sedang  hukum yang disandarkan kepada Akal disebut Dalil Aqli,

Adanya klasifikasi sumber hukum di atas setidaknya bisa dijadikan pemandu hikmah bagi kita dalam upaya menyisir suatu perkara yang tidak jelas, sebut saja perkara “tidurnya orang puasa adalah ibadah” dengan menggunakan nalar akal sehat. Dalam kondisi tertentu kita tidak perlu merasa ragu untuk melakukannya, karena Allah SWT sangat menghargai hal semacam itu, “Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Qs. Al-A'raf: 179)

Kalau begitu, ayo kita belajar menyisir sesuatu yang tidak pasti dengan menggunakan Dalil Aqli / Akal Sehat :
1.      Golongan Orang yang tidak dihitung Amal Baik dan Buruknya
a.       Anak-anak hingga aqil baligh
b.      Mabok hingga tersadar
c.       Tidur hingga terbangun
2.      Syarat rukun ibadah
a.       Berniat
b.      Dilakukan dengan sadar semata rasa cinta,rasa harap,rasa takut kepada Allah
c.       Menyengaja

Berbekal dua kaidah tersebut dapat  memposisikan bahwa“Tidurnya Orang berpuasa adalah Ibadah” seperti apa? Dilihat dari golongan amal baik, jelas tidak dapat, karena tidur  tidak memperoleh pahala puasa, dari berangkat tidur hingga terbangun.Ditinjau dari rukun dan syarat ibadah, posisi tidur pasti tidak sadar sehingga menyengaja melakukan ibadah puasa juga tidak mungkin,sehingga untuk memperoleh pahala puasa tidak dapat.

Memang kondisi perut lapar serta cuaca panas menjadi alasan, mengapa tidur menjadi  tuntutan yang harus dipenuhi. Tetapi apakah puasa yang hanya terjadi 1 tahun sekali dan amalnya dilipat gandakan itu, harus terjual dengan rasa kantuk tidak bisakah bersabar barang sejenak  menahan rasa kantuk ” Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10) ya karena kita tidak mau bersabar, akhirnya puasa kita yang semestinya pahalanya 12 jam, menjadi berkurang.

Sekalipun kita telah bisa memastikan bahwa, tidurnya orang berpuasa bukan merupakan ibadah karena tidak mendapatkan apa-apa bahkan sangat merugi karena kesempatan meraih pahala yang melimpah ruah dibuang sia-sia. Bukan berarti kita punya kewenangan apalagi kekuasaan untuk menyalahkan orang lain,  yang tetap tidur disaat melaksanakan ibadah puasa, karena hal semacam itu bukan pewaris  akhlak Rosulullah Muhammad SAW yang tekun,sabar dan tidak putus asa membimbing umatnya beriman kepada Allah SWT.


Mereka yang tidur disaat puasa, kalau kita tafakkuri lebih jauh, sebenarnya tidak ada yang salah  kecuali merugi,  karena  puasa itu adalah ibadah yang batal apabila: makan,minum dan melakukan hubungan sex di siang hari, sedang tidur  tidak  menjadi syarat  batalnya ibadah puasa. Jelas sudah bahwa apa yang dimaksud “Tidurnya Orang berpuasa adalah Ibadah” bukan tidurnya yang ibadah, melainkan puasanya karena sekalipun tidur puasanya tetep lanjut atau Ibadahnya tidak batal

Lain dengan  ibadah sholat, kalau sampai tertidur apalagi tidur maka sholatnya tidak boleh dilanjut karena ibadahnya batal, Dan alasan itu juga mengapa sampai saat ini kita, tidak mendengar Tidurnya orang sholat adalah ibadah, karena tidurnya membatalkan ibadah sholat.  “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (al-Baqarah : 197) Masih mau tidur?#tidurnyapuasa

6 komentar:

  1. Subhanallah walham dulillah wala ilahaillallah wallahuakbar..trimakasih guru atas tambahan ilmunya...

    BalasHapus
  2. Amiin semoga menjadikdan ilmu yang bermanfaat bagi murid trimakasih guru.

    BalasHapus
  3. subahanallah, guru sangat bersyukur apabila murid bisa mengikuti dengan baik, apabila murid ingin melihat yang lebih luas lagi dengan teman-teman kasabullah lainnya silahkan klik google @kasabullah, disana murid bisa melihat aktifitas teman-teman kasabullah lainnya.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Subhanallah. Terimakasih guru. Atas pencerahannya. Bismillah murid dapat mengamalkannya

    BalasHapus
  6. Terimakasih Guru atas pesan yang disampaikan.

    BalasHapus